Blog EDULEARN IJERE Pendidikan

Pengajaran Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua

Menjadi guru adalah sebuah pilihan dan resiko yang besar. Perhatikan tugas dan kewajiban yang diemban guru dalam profesinya. Terlebih lagi, sebagai seorang guru bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, atau bahasa asing, menyampaikan pembelajaran bahasa Inggris bukanlah suatu hal yang mudah, ditambah dengan tantangan yang menyertainya. Disini kita akan membahas beberapa tantangan dan harapan seorang guru bahasa Inggris untuk bahasa asing dan bahasa kedua, antara lain; Perspektif Karir Guru Bahasa Inggris Pra-jabatan; Penilaian dimensi pembelajaran dan proses kognitif literasi instruktur dalam bahasa Inggris; dan Pembelajaran bahasa Inggris online di kalangan mahasiswa perguruan tinggi.

Motivasi guru bahasa Inggris prajabatan untuk mengejar karir di bidang pengajaran ditinjau dari efikasi diri berbicara

Ada tiga jenis motivasi yang diidentifikasi: intrinsik, ekstrinsik, dan altruistik. Motif intrinsik adalah sesuatu yang berasal dari dalam diri seperti minat, pengalaman pribadi, dan pemenuhan intelektual. Hal ini terjadi ketika seseorang memiliki hasrat naluriah untuk mengajar dan benar-benar menikmatinya. Di sisi lain, motif ekstrinsik adalah sesuatu yang berasal dari luar pekerjaan mengajar itu sendiri, seperti jam kerja, gaji, hari libur, kondisi ekonomi, dan status sosial. Terakhir, motif altruistik adalah keinginan dan niat individu untuk berkontribusi pada pertumbuhan individu lain. Penelitian terdahulu mengenai motivasi guru prajabatan untuk berkarir di dunia pendidikan menemukan hasil yang berbeda-beda. Beberapa penelitian menemukan bahwa motivasi altruistik lebih dominan dalam menentukan keputusan karir, sementara penelitian lain menunjukkan motivasi ekstrinsik atau intrinsik. Penelitian saat ini memperluas topik tersebut dengan menghubungkan motivasi guru bahasa Inggris prajabatan untuk mengajar dengan efikasi diri berbahasa Inggris. Konstruk efikasi diri berasal dari Teori Kognitif Sosial dari Bandura yang menyarankan model sebab akibat yang melibatkan orang, perilaku, dan lingkungan secara timbal balik. Apa yang dipikirkan orang memengaruhi tindakan mereka, dan tindakan ini dapat mengubah lingkungan. Lingkungan, pada gilirannya, dapat mengubah pikiran orang. Siswa dapat mengeluarkan usaha yang lebih tinggi untuk belajar (variabel perilaku) jika mereka merasa kompeten dalam mata pelajaran yang mereka pelajari (efikasi diri sebagai variabel pribadi). Guru dapat memuji mereka (variabel sosial/lingkungan), yang dapat memperkuat kemajuan belajar mereka (variabel pribadi). Hal ini, pada gilirannya, memotivasi siswa untuk belajar lebih keras.

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif. Data yang dikumpulkan berupa angka dan dianalisis secara kuantitatif. Statistik digunakan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena yang menarik, dalam hal ini, motivasi calon guru bahasa Inggris untuk mengejar karir di bidang pengajaran dan self-efficacy berbahasa Inggris mereka. Responden penelitian ini adalah mahasiswa semester 3, 5, dan 7 dari program studi pendidikan bahasa Inggris di sebuah universitas di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Mahasiswa semester 1 tidak diikutsertakan dengan pertimbangan bahwa, ketika data dikumpulkan, mereka baru saja memulai studi mereka. Total populasi adalah 150 mahasiswa. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari tiga bagian (jenis kelamin, motivasi untuk mengejar karir di bidang pengajaran, dan efikasi diri berbahasa Inggris responden). Peneliti mengundang mahasiswa untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan mengirimkan permintaan dan tautan ke formulir Google yang berisi kuesioner melalui grup WhatsApp kelas (WAG). Mereka yang setuju untuk berpartisipasi akan membuka tautan tersebut, mengisi kuesioner, dan mengirimkannya. Jawaban dari tingkat persetujuan pada kuesioner tentang motivasi karir diubah menjadi skor 1 sampai 5. Jawaban sangat tidak setuju diberi skor 1, tidak setuju diberi skor 2, dan skor 3, 4, dan 5 berturut-turut untuk ragu-ragu, setuju, dan sangat setuju.

Studi ini menemukan bahwa guru bahasa Inggris prajabatan di Indonesia memiliki motivasi yang tinggi untuk mengajar dan motivasi ekstrinsik adalah motif yang paling dominan. Di antara alasannya adalah profesi yang mulia dan keberlanjutan profesi karena masyarakat akan selalu membutuhkan guru. Penghasilan ternyata tidak menjadi motif yang kuat untuk mengajar. Selain memiliki motivasi yang kuat untuk mengejar karir di bidang pengajaran, guru bahasa Inggris prajabatan di Indonesia memiliki tingkat efikasi diri berbahasa Inggris yang tinggi. Keyakinan mereka terhadap kemampuan untuk melakukan tugas-tugas dalam berbahasa Inggris sangat tinggi. Karena efikasi diri dapat memprediksi kinerja, diharapkan mereka dapat berbicara bahasa Inggris dengan baik, meskipun kecemasan berbicara, penggunaan idiom, tata bahasa, dan kefasihan masih menjadi masalah. Motivasi untuk mengajar berkorelasi positif dengan self-efficacy berbicara bahasa Inggris pada tingkat sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa efikasi diri berbahasa Inggris bukanlah faktor yang mendominasi yang mendorong para calon guru bahasa Inggris untuk berkarir di bidang pengajaran.

Penilaian untuk pembelajaran dan literasi dimensi proses kognitif instruktur dalam bahasa Inggris

Literasi penilaian adalah cara penting untuk menentukan tingkat kinerja seseorang di berbagai bidang atau disiplin ilmu. Selama pandemi COVID-19, banyak pendidik yang ragu tentang bagaimana mereka akan menentukan tingkat kemahiran, penilaian, dan domain kognitif siswa karena dibutuhkan banyak studi dan ujian untuk mengetahui hasilnya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat literasi pengajar dalam bahasa Inggris pada penilaian untuk pembelajaran dan dimensi proses kognitif. Secara khusus, penelitian ini mengeksplorasi kemampuan para guru dalam menilai pembelajaran dan dimensi proses kognitif dalam beberapa parameter seperti tujuan penilaian kelas, dasar teori penilaian kelas, jenis tes, konten dan standar kinerja dan kompetensi, dan dimensi proses kognitif. Hal ini relevan karena hal ini akan membantu para pembuat kebijakan dalam hal mengembangkan pedoman dan program pengembangan yang relevan yang diambil dari kesenjangan berbasis penelitian tentang kekuatan dan kelemahan para pengajar dalam menilai pengetahuan dan keterampilan siswa mereka dalam bahasa Inggris.

Para peneliti menggunakan jenis penelitian penilaian. Responden penelitian ini melibatkan lima administrator universitas, 15 pengajar bahasa Inggris, dan 225 mahasiswa selama tahun ajaran 2020-2021. Ketiga kelompok responden ini dilibatkan untuk menghindari bias dan melakukan triangulasi data yang merupakan elemen penting untuk memvalidasi data yang dikumpulkan. Kuesioner yang dibuat sendiri digunakan untuk menentukan tingkat literasi instruktur dalam bahasa Inggris tentang penilaian pembelajaran dan dimensi proses kognitif dalam hal tujuan, dasar teori, jenis penilaian, konten dan standar kinerja dan kompetensi, dan dimensi proses kognitif. Kuesioner tersebut telah melalui validasi ahli oleh tiga profesor universitas yang bergelar doktor di bidang bahasa Inggris dan uji reliabilitas melalui uji coba dengan nilai Cronbach’s alpha sebesar 0,987. Data diolah dengan menggunakan Statistical Packages for Social Sciences atau Perangkat Lunak SPSS. Ini adalah program serbaguna dan responsif yang dirancang untuk melakukan berbagai prosedur statistik. Secara khusus, para peneliti menggunakan prosedur rata-rata dan skema frekuensi untuk menganalisis dan menginterpretasikan data yang dikumpulkan.

Kesimpulannya, meskipun para pengajar bahasa Inggris menggunakan tujuan pembelajaran yang spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan terikat waktu (SMART), mereka masih harus membedakan tiga domain pembelajaran; Kedua, meskipun pengajar bahasa Inggris sangat baik dalam mengidentifikasi keragaman siswa, mereka harus mencari berbagai alat penilaian; ketiga, meskipun mereka memiliki fleksibilitas dalam menyusun tujuan pembelajaran, dan menilai siswa secara holistik, mereka harus terbiasa dengan tingkat proses kognitif untuk mencapai penilaian yang mendalam untuk pembelajaran. Penelitian ini terbatas karena ruang lingkupnya yang dapat mempengaruhi keumumannya.

Peran gaya bicara antara guru dan murid dalam pembelajaran bahasa Inggris

Setiap ruang kelas memiliki karakteristiknya masing-masing. Karakter guru dan siswa mempengaruhi jalannya proses belajar-mengajar. Para guru perlu merancang proses pembelajaran yang bermakna. Para guru akan memiliki gaya mereka sendiri untuk melakukannya. Gaya mengajar bukanlah cara umum untuk memulai hubungan dengan siswa dan mengelola kelas. Gaya mengajar adalah pengaturan perilaku dan sikap yang menjadi ciri khas guru dalam proses belajar-mengajar. Penelitian ini meneliti peran gaya bicara antara guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris. Gaya bicara guru penting untuk membantu siswa agar berhasil dalam bahasa target, terutama siswa dengan gangguan kognitif. Gaya bicara guru dapat membantu siswa dalam mengatasi masalah perkembangan dan pembelajaran mereka.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan pendekatan ex post facto. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa dan pengajar di Jurusan Bahasa Inggris di Universitas Madura. Mereka terdiri dari mahasiswa semester tiga, lima, dan tujuh. Terdapat 13 mahasiswa dari semester tiga, 11 mahasiswa dari semester lima, 10 mahasiswa dari semester tujuh, dan 10 pengajar dari jurusan Bahasa Inggris. Mereka dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini. Kuesioner dan tes menggunakan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data utama, sedangkan observasi dan dokumentasi digunakan untuk data pendukung. Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk mendapatkan informasi tentang gaya bicara antara guru dan siswa.

Penelitian ini menemukan bahwa peran gaya bicara antara pengajar dan mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Universitas Madura dalam pembelajaran bahasa Inggris adalah positif dan signifikan, dan besarnya peran variabel tersebut adalah 0,62 (62%). Gaya bicara pengajar dan mahasiswa mempengaruhi tingkat kemahiran mahasiswa dalam berbahasa Inggris. Gaya bicara yang tepat yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa membantu kelas dengan memberikan masukan kepada siswa. Ruang kelas memfasilitasi masukan siswa dalam pembelajaran bahasa ketika guru memberikan masukan yang mudah dipahami dan menarik. Hal ini menyiratkan bahwa guru harus menggunakan gaya bicara yang tepat untuk membangun kondisi yang tepat di dalam kelas untuk membantu siswa dengan masukan yang bermakna. Anggota masyarakat akademik harus responsif terhadap gaya bicara yang tepat dalam proses belajar-mengajar bahasa Inggris.

Pembelajaran bahasa Inggris online di kalangan mahasiswa

Dengan bantuan teknologi digital, pembelajaran online telah bergeser dari sekedar tren marjinal menjadi populer dalam pembelajaran bahasa Inggris. Tujuan dari penelitian ini adalah i) Untuk mengetahui tingkat aksesibilitas teknologi, kemampuan teknis, pembelajaran mandiri, sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris secara online, dan niat untuk terus belajar; ii) Untuk mengidentifikasi dampak dari variabel kemampuan teknis, aksesibilitas teknologi, dan pembelajaran mandiri terhadap sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris secara online; dan yang terakhir adalah iii) Untuk mengidentifikasi dampak dari sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris secara online terhadap niat untuk terus belajar. Dalam pembelajaran online, para siswa berpartisipasi dalam ruang belajar melalui sinkronisasi dan sinkronisasi. Hal ini dianggap sebagai pengalaman murni siswa selama pandemi COVID-19, baik kelas virtual sinkron maupun asinkron, karena selama beberapa bulan tidak ada yang diizinkan untuk mengadakan kelas tatap muka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan kesiapan siswa dalam pembelajaran bahasa Inggris secara daring terhadap niat kelanjutan penggunaan e-learning. Kesiapan siswa didasarkan pada tingkat kemampuan teknis siswa, aksesibilitas teknologi, dan pembelajaran mandiri.

Terdapat 7.000 mahasiswa dari dua universitas yang menjadi populasi penelitian ini di Kepulauan Riau. Partisipan yang representatif dipilih dengan mengacu pada N/N(d))²+1, (N=total populasi d=nilai presisi 0,1). Sampel yang dipertimbangkan adalah 102 mahasiswa dari jurusan non-Inggris. Tidak ada karakteristik latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, atau karakteristik bertingkat yang diperhitungkan. Teknik pengambilan sampel non-random diterapkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang bersifat generalisasi. Untuk mencapai tujuan penelitian ini, 25 item kuesioner dikembangkan untuk mengumpulkan data dari responden. Kuesioner yang dikembangkan didasarkan pada tiga variabel independen (Kemampuan teknis, aksesibilitas teknologi, pembelajaran mandiri), satu variabel intervening (Sikap terhadap e-learning bahasa Inggris), dan satu variabel dependen (niat untuk melanjutkan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa self-directed learning merupakan faktor penting dalam membangun sikap positif siswa dalam memanfaatkan teknologi digital dalam pembelajaran. Kendala yang sering dialami oleh mahasiswa saat pembelajaran online adalah platform LMS seperti Siakad dan Edlink (platform yang biasa digunakan di kampus) terlihat kurang jelas di layar gawai yang berukuran kecil. Namun, pengalaman ruang kelas digital adalah keterampilan literasi digital yang dibutuhkan.

Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan teknis, aksesibilitas teknologi, sikap terhadap pembelajaran bahasa Inggris secara daring, dan continuance intention telah menunjukkan bahwa tanggapan pernyataan sebagian besar berada pada tingkat setuju atau sangat setuju untuk mengukur variabel-variabel tersebut. Kecenderungan positif dari respon-respon tersebut dapat dijadikan acuan dasar bahwa mahasiswa memiliki potensi yang sangat baik untuk beradaptasi lebih baik dengan pembelajaran online di masa depan, tentunya dengan memperhatikan berbagai aspek dari lingkungan masing-masing. Namun, tujuan kedua dari penelitian ini menunjukkan bahwa aksesibilitas teknologi dan kemampuan teknis tidak secara signifikan mempengaruhi sikap responden terhadap pembelajaran bahasa Inggris secara online. Hal ini mengasumsikan bahwa responden telah melalui masa adaptasi selama satu tahun di awal masa sekolah menengah atas sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, pembelajaran mandiri yang secara teori mengacu pada proses psikologis yang secara sengaja mengarahkan pembelajar untuk memperoleh pengetahuan dan memahami cara memecahkan masalah berkaitan erat dengan sikap mereka terhadap pembelajaran online. Siswa yang lebih mandiri dalam beradaptasi dengan pembelajaran berbasis teknologi memiliki sikap positif dalam mengadopsi strategi pembelajaran online dan secara terus menerus menunjukkan performa yang baik. Pembelajaran bahasa Inggris secara daring telah memberikan peta jalan yang jelas dan peluang bagi pendidik dan siswa untuk mengambil lebih banyak manfaat dan melibatkan pemangku kepentingan utama untuk menciptakan pasar baru jika pandemi ini berlangsung lebih lama, atau menjadi cara belajar mengajar yang dapat diterima secara umum. Kelemahan dalam penelitian ini, yang dilakukan selama pandemi COVID-19 adalah jumlah sampel yang kecil karena terbatasnya ruang untuk mengeksplorasi berbagai aspek demografis dan aspek sosial lainnya dari siswa dalam konteks pembelajaran online. Akan sangat membantu untuk memberikan gambaran umum tentang fenomena dengan perlakuan yang berbeda antara pembelajaran berbasis daring murni vs pembelajaran tatap muka dengan membandingkan pendidikan kedua kelompok, serta faktor sosio-ekonomi.

Redaksi: Milzam A. Rusdianto

Editor: Septian D. Cahyo